HAKIKAT DAN NILAI ESENSIAL HARI RAYA (Aidul Fitri)
Hakikat Hari Raya
Hari Raya Idul fitri merupakan salah satu dari dua hari raya yang Allah pilihkan kepada umat manusia, dimana hari raya pertama datang setelah umat manusia menjalani ujian berupa puasa selama satu bulan, melawan hawa nafsu, beribadat pada malam hari sehingga pada puncak kesuksesannya adalah merasakan nikmat Allah berupa hari raya hari kemenangan. Selanjutnya hari raya yang kedua datang setelah umat manusia melewati hari-hari yang sangat melelahkan berupa wukuf di padang arafah, bermalam di Mina, thawaf, sa’i sehingga pada akhirnya ia senang dengan ibadah haji dan makan makanan sembelihan sebagai hadiah dari Allah. Oleh karena demikian, hari raya dalam Islam adalah hari kegembiraan yang selalu dikaitkan kehadirannya dengan kesuksesan menjalani perintah Allah yaitu berpuasa dan melakukan ibadah haji.
Tentang 2 bentuk perayaan hari raya ini, Rasulullah sebutkan dalam sabdanya:
فقد روى ابو داود من حديث انس قال قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما, فقال: ماهذان اليومان؟ قالوا: كنا نلعب فيهما فى الجاهلية فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم ان الله قد ابدلكم بهما خيرا منهما يوم الاضحى ويوم الفطر
Imam Abu dawud menerangkan dari hadits sahabat Anas berkata: pada suatu waktu Nabi datang di Madinah, di sana penduduk Madinah sedang bersuka ria selama dua hari. Lalu nabi bertanya “hari apakah ini (mengapa penduduk Madinah bersuka ria?)” mereka menjawab ”dulu semasa zaman jahiliyah pada dua hari ini kami selalu bersuka ria”. Kemudian Rasulullah saw bersabda “Sesungguhnya Allah swt telah mengganti dalam Islam dua hari yang lebih baik dan lebih mulia, yaitu hari raya kurban (idul adhha) dan hari raya fitri (idul fitri).
Hadis di atas dapat dipahami bahwa dalam sejarah hari raya, pada era kaum jahiliyah juga merayakan dua hari yang setiap tahun nya, dimana dua hari raya tersebut disebut dengan hari Nairuz dan Marjaan. Dalam setiap tahunnya, dua hari ini digunakan untuk pesta pora, dan di isi dengan mabuk-mabukan dan menari. Namun setelah turunnya kewajiban puasa Ramadhan, Rasulullah ﷺ mengganti Nairuz dan Marjaan dengan hari Idul Fitri dan Idul Adha. Tujuannya, agar umat Islam mempunyai tradisi yang lebih baik dan sejalan dengan apa yang disyariatkan oleh Allah subhanahu wa ta'ala.”
Syekh Abdul Hamid bin Muhammad bin ‘Aly bin Abdil Qadir Qudsi al-Makki asy-Syafi’i dalam kitabnya Kanzun Najah was Surur mengungkapan tentang hakikat hari raya dengan kalimatnya:
ليسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجَدِيْدَ، ولكن الْعِيْدُ لِمَنْ طَاعَاتُهُ تَزِيْدُ،
Artinya, “Bukanlah disebut id bagi orang yang mengenakan (pakaian) baru, tetapinya id itu bagi orang yang ketaatannya bertambah.
ليسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجَدِيْدَ،وشهد العيد و انته الدنيا علي ما يريد و لكن السعيد من اتقي العذاب الأليم و فاز بجنات النعيم فأطاع العزيز العاليم
Artinya, “Bukanlah disebut id bagi orang yang mengenakan (pakaian) baru, orang yang merayakan hari raya, orang yang memperturutkan hawa nafsunya, tetapi id itu bagi orang yang terlepas dari azab yang pedih, yang berbahagia mendapatkan syurga jannatun na’im sehingga bertambah ketaatannya kepada sang maha perkasa lagi maha mengetahui.
Bahkan Sayyidina Ali dalam memaknai hari raya mengungkapkan dengan ungkapan:
كل يوم لا نعصي فيه فهو لنا عيد
Artinya: “setiap hari yang dilalui tidak dengan melakukan maksiat, maka disitulah hari raya yang sebenarnya”.
Berdasarkan ungkapan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tidaklah dikatakan hari raya ketika:
• Mendapatkan keuntungan duniawi
• Memakai pakaian yang serba baru
• Memperoleh harta yang melimpah
Tetapi hari raya itu adalah ketika kita mampu menjaga seluruh anggota tubuh kita dari perbuatan dosa dan maksiat. Artinya ketika nikmat mata mampu dijaga untuk melihat perkara yang haram, ketika mulut mampu dijaga dan dikontrol dari berbicara yang diharamkan, ketika telinga mampu dijaga dari mendengar yang diharamkan. Apabila semuanya itu dapat dijaga dan dikontrol sepanjang hari, maka itulah hari raya yang sesungguhnya. Sebaliknya apabila hari-hari yang telah dilewati diisi dengan berfoya-foya, berbuat maksiat, maka tidak pantas dinamakan hari raya, walaupun itu bertepatan dengan hari raya.
Berdasarkan asumsi di atas, maka tidaklah pantas jika lautan pahala yang sudah dikumpulkan dan didapatkan selama berpuasa satu bulan penuh disia-siakan dengan berbuat maksiat di hari-hari yang kita lewati ini.
Hal seperti demikianlah yang dipraktekkan oleh Imam Sufyan At-Sauri, dimana beliau mengungkapkan:
إن اول ما نبدأ غض البصر
Artinya:”Perbuatan pertama sekali dilakukan pada pagi hari raya adalah memejamkan mata”.
Para ulama salafushaleh, sangat menjaga diri dari dosa, walaupun hanya sebatas pandangan mata sahaja. Sebagaimana datang riwayat bahwa Hasan bin Abi Jinan ketika ditanya oleh istrinya setelah pulang dari shalat ied:
كم من إمرة حسناء رأيت؟ما نظرت إلا إبهام مذ خرجت حتي رجعت
Artinya:”Berapa banyak wanita cantik yang sempat engkau lihat?Imam Hasan menjawab, tidak pernah ku memandang semenjak keluar dari rumah melainkan hanya ibu jariku sehingga diriku kembali pulang ke rumah”.
Prilaku demikian di adatkan oleh para ulama-ulama shaleh terdahulu, dengan hikmah yang terkandung di dalamnya adalah dengan menjaga pandangan, dapat membuat mereka ulama menikmati ibadahnya kepada Allah, karena dengan menjaga pandangan, Allah anugerahkan kepadanya kelezatan beribadah kepada Allah.
Idul Fitri memperkuat hubungan Silaturahmi
Silaturahmi merupakan sunnahnya Rasulullah yang sangat dianjurkan untuk kita laksanakan dan khusus dengan sanak keluarga dan family khususan dengan kedua orangtua kita.
Di hari raya fitri inilah waktu yang tepat bagi kita untuk meraih kedua tangannya yang sudah nampak keriput dimakan usia. Rengkuhlah tubuhnya, Ciumlah tangan yang dulu kekar mengasuh kita namun sekarang sudah lemah seraya bersimpuh meminta maaf kepadanya. Mintalah keridhaan dan keikhlasannya untuk bekal hidup kita. Dan marilah berdoa agar Ia selalu mendapatkan perlindungan dan kesehatan serta kemudahan dari Allah SWT. Semoga mereka tetap terjaga Iman Islamnya dan ketika Ia dipanggil oleh Allah SWT mereka menjadi hamba yang khusnul khatimah dan kita diberikan ketabahan dalam menghadapinya. Namun, jika mereka saat ini sudah tidak bersama kita lagi di dunia. Marilah kita luangkan waktu untuk berziarah ke makam mereka. Lihat dan bersihkanlah pusara mereka yang menunggu doa dari kita dan keluarga. Ia pastinya akan tersenyum melihat kehadiran dan doa yang kita kirimkan. Sebaliknya mereka pasti akan sangat bersedih ketika kita tidak datang mendoakan karena hanya itulah yang mereka harapkan dialam sana.
Sebagaimana sabdanya Rasul:
قال رسول الله كل الذنوب يؤخر الله تعالي منها ما شاء الي يوم القيامة الا عقوق الوالدين فإنه يعطيه لصاحبه في الحياة الدنيا قبل الممات
Artinya:”Rasulullah Shallallahun Alaihi Wasallam bersabada,”Setiap dosa-dosa, Allah Ta’ala mengakhirkan (balasannya), sebagaimana yang Dia kehendaki dari dosa-dosa itu hingga hari kiamat. Kecuali durhaka kepada kedua oranguanya, sesungguhnya Allah menyegerakan (balasan) nya bagi pelakunya saat hidup di dunia sebelum wafat.” (Riwayat At Thabarani dan Al Hakim, dishahihkan oleh Al Hakim dan As Suyuthi)
Dari hadis ini dapat dimaknai bahwa tidak semua bentuk ibadat dibalas oleh Allah didunia, tetapi berbuat baik kepada orang tua dibalas dua kali, di balas di dunia dan di balas di akhirat. Sebaliknya jika seseorang anak durhaka kepada orangtuanya juga dibalas dua kali, di dunia dan di akhirat. Oleh karena demikian, ketika seseorang anak belum meminta ampun kepada orang tuanya di dunia, maka seorang anak tersebut tidak akan bahagia dan senang dan terbebas dari dosa.
Kualitas hidup seseorang anak manusia tergantung bagaimana kualitas batin kita terhadap orang tua. Ketika baktinya seorang anak semakin besar, maka kebahagiaan dan kesuksesan seorang anak pun akan semakin besar. Jadi,
● Standar kesuksesan itu tidak terletak pada tingginya pendidikan seorang anak
● Standar kesuksesan itu tidak terletak pada berlimpahnya harta seorang anak
● Standar kesuksesan itu tidak terletak pada cantik dan gantengnya seorang anak
● Standar kesuksesan itu tidak terletak pada hebatnya jabatan seorang anak
Imam azzahabi dalam kitabnya al-kabair meriwayatkan dari ibnu arabi bahwa di depan syurga dan di atas neraka ada sebuah tempat yang sangat tinggi. Tempat ini dikususkan bagi orang yang pergi berjihad dan terbunuh di medan peperangan, tetapi dia durhaka kepada orang tuanya. Kenapa tidak bisa masuk ke neraka?karena sejak pertama sekali Allah ciptakan neraka, Allah telah mewahyukan kepada neraka agar tidak membakar tubuh dan darah yang pernah berjuang jihad di jalan Allah. Tetapi ia juga tidak bisa masuk ke dalam syurga?karena syurga pun tidak bisa dilewati oleh orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya.
Idul fitri sebagai momentum pembersihan diri melalui zakat fitrah
Kewajiban membayar zakat fitrah di akhir bulan Ramadhan merupakan bentuk kepedulian sosial kita sesama sebagai hablum minannas (hubungan antar manusia). Kewajiban zakat fitrah ini adalah bentuk ibadah lainnya dalam bulan Ramadhan yang bersifat hablum minallah (hubungan denganAllah).
Zakat fitrah merupakan sedekah wajib berupa makanan pokok dengan takaran tertentu yang diberikan kepada mereka yang berhak. Zakat fitrah dikeluarkan wajib di awal bulan Syawal, tetapi boleh dikeluarkan di awal Ramadhan menurut Mazhab Syafi‘i. Zakat fitrah merupakan penutup ibadah puasa Ramadhan yang dapat menutupi kekurangan-kekurangan mereka yang berpuasa dalam menjalankan ibadah selama sebulan penuh. Zakat fitrah dengan bentuknya berupa makanan pokok, pada mazhab Hanafi dapat dinominalkan, memiliki pengaruh yang sangat besar bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat
عن ابن عباس: فرض رسول الله صلّى الله عليه وسلم زكاة الفطر طُهْرةً للصائم من اللغو والرَّفَث، وطُعْمةً للمساكين. رواه أبو داود وابن ماجة وصححه الحاكم
Artinya, “Dari sahabat Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitri sebagai penyucian bagi orang yang berpuasa dari ucapan sia-sia dan ucapan keji, dan sebagai sarana memberikan makanan bagi orang miskin,” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah). Hadist ini shahih menurut Imam Al-Hakim.
Takaran zakat fitrah memang tidak seberapa.yakni 2,8 kg untuk setiap jiwa dalam mazhab syafi’I, dan seharga 3,8 kg kurma sukari (Rp. 300.000) dalam mazhab hanafi. Tetapi ibadah ini mengandung hikmah dan semangat berbagi luar biasa yang dapat ditarik nilai-nilainya untuk dikontribusikan dalam kehidupan sosial dan berkelanjutan dalam bentuk donasi untuk kemanusiaan.
Idul Fitri sebagai momentum untuk bersyukur
Setelah kita membakar dosa-dosa selama sebulan penuh, kita berpuasa, beribadah malam, tadarus Al-Quran, sedekah, zakat, menyantuni yatim-piatu, shalat berjamaah, i’tikaf dan lain sebagainya, tibalah saatnya kita sekarang meraih kemenangan besar, sebuah kemenangan berperang dengan hawa nafsu dan menghajarnya selama satu bulan penuh. Tentu, semuanya ini hanyalah karena anugerah dari Allah SWT.
Tidak semua muslimin yang mampu berpuasa lalu mereka diberi pertolongan Allah bisa menjalankan puasa. Tidak semua muslimin yang mampu menunaikan zakat, lalu mereka diberi taufiq bisa menunaikan zakat, begitu pula shalat jamaah, sedekah dan lain sebagainya. Artinya, bagi siapa saja yang bisa menjalankan ibadah, itu hanya pemberian anugerah Allah SWT. Atas dasar anugerah inilah, kita layak bergembira menyambutnya. Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:
قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوْا، هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ
Katakan wahai Muhammad, dengan anugerah Allah dan rahmatNya, dengan itu, maka bergembiralah. Hal itu lebih baik dari pada apa saja yang telah mereka kumpulkan. Sebagai bentuk manifestasi rasa syukur kepada Allah, kita perlu mengaplikasikannya dengan tiga rukun syukur sebagai berikut:
1. Syukur bil jinan (syukur dengan hati), Merasa berterima kasih atas beragam nikmat besar yang telah kita terima dari Allah ta’ala.
2. Syukur bil lisan (syukur dengan lisan), kita ungkapkan kegemberiaan kita dengan mengucap hamdalah, takbir, tahmid dan perkataan-perkataan baik yang lain.
3. Syukur bil arkan (syukur dengan anggota badan), kita tunaikan shalat Idul Fitri, kita buat ibadah badaniyah yang lain, silaturahim, bersedekah dan lain sebagainya.
Penutup
Idul fitri merupakan hari kemenangan dan kebahagian. Namun semuanya ini memiliki hikmah yang dapat kita renungi dan telusuri, antara lain:
1. Idul fitri merupakan hari kegembiraan yang dirayakan setelah beribadat sebulan penuh sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah
2. Idul fitri membangun kepekaan social dengan bentuk menunaikan zakat fitrah
3. Idul fitri memperkuat ukhuwah Islamiyah dengan silaturahmi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar