abi safriadi

Sabtu, 07 Mei 2022

Mabadiul ‘Asyrah Ilmu Ushul Fikih


 

Al-Mabadi’ al-‘Asyrah adalah sebuah istilah yang dipakai oleh ilmuwan untuk menjelaskan 10 hal pokok tentang sebuah ilmu yang harus diketahui oleh para penuntutnya. 10 Hal tersebut dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Ali Al-Shabban Al-Miri, (w. 1206 H) lewat nazham (syair) sebagai berikut:[1]

الحـــــد والموضوع ثم الثمرة ***                          إن مبادئ كل علــــم عشرة                          
              ***                   الاسم الاستمداد حكم الشــــارع               ونسبة وفضله والواضــــع
ومن درى الجميع حاز الشـــرفا مســائل والبعض بالبعض اكتفى                      ***                     

Mabādi’/dasar setiap ilmu itu ada 10 yaitu (1) Al-H̱ad (definisi), (2) Al-Mawū’ (pokok bahasan), (3) Al-Śamrah (hasil yang diperoleh), (4) Nisbah (nilai ilmu tersebut), (5) fadl (keutamaan ilmu tersebut), (6) Wādi’ (peletak dasar ilmu), (7) Ism (Nama ilmu tersebut), (8) Al-Istimdād (Dasar pengambilan ilmu), (9) Hukm Al-Syāri’ (hukum ilmu tersebut berdasarkan tinjauan syariah), dan (10) Masāil (masalah apa saja yang dibahas dalam, dengan dan oleh ilmu tersebut).  Sebagian mabādi’ menjadi cukup dengan sebagian yang lain. Siapa yang yang menguasai dan memahami semua mabādi’ tersebut akan memperoleh kedudukan yang mulia”.

Adapun 10 Mabādi’ atau dasar-dasar pokok tentang sebuah disiplin ilmu tersebut adalah :[2]

  1. Al-ad/ definisi: Defenisi ilmu tersebut serta apa saja yang membedakannya dari disiplin ilmu yang lain
  2. Al-Mawū/ Pokok bahasan:  Menjelaskan tentang apa saja yang akan dibahas dalam disiplin ilmu tersebut.
  3. Al-Śamrah/ Hasil: Faedah dan hasil apa yang akan diperoleh oleh penuntut ilmu tersebut.
  4. Nisbah/ Nilai ilmu: Nilai ilmu tersebut dalam pandangan Syari’at serta apa saja manfaat menuntut ilmu .
  5. Fadl/ Keutamaan: Keutamaan mempelajari disiplin ilmu tersebut.
  6. Wāi’/ Peletak dasar ilmu tersebut
  7. Ism/ nama: Apa saja nama yang diberikan oleh para ilmuwan pada ilmu tersebut.
  8. Istimdād/ Dasar ilmu: Apa saja yang menjadi dasar ilmu tersebut.
  9. Hukm/ hukum: Apa hukum ilmu tersebut dalam pandangan syariat dan apa hukum mempelajarinya
  10. Masā’il/ masalah: Masalah apa saja yang akan dibahas oleh ilmu tersebut, kemudian apa saja hal yang menjadi wilayah pembahasan ilmu tersebut.

Apabila dikaitkan dengan keterhubungan 10 dasar ilmu tersebut dengan ilmu ushul fikih, maka uraiannya adalah seperti berikut ini.

1. Pengertian Ushul Fiqh

Jika dilihat dari asal katanya, ushul fiqh merupakan bentuk tarkib idhafi  (kalimat majemuk) yang terdiri dari dua kata ( mudhaf dan mudhaf ilaih), yaitu kata ushul = mudhaf dan fiqh = mudhaf ilaih. Dalam bahasa Arab, ushul ( أﺻﻮل) adalah bentuk jamak dari ashl (أصل). Ashl juga terbagi kepada 2 makna yaitu makna secara etimologi dan terminologi. Secara etimologi, asl diartikan dengan beberapa arti sebagai berikut:

a)      Fondasi sesuatu yang bersifat materi ataupun bukan.

b)      Tempat terjadinya cabang

c)       Asal dari segala sesuatu

d)     Sumber /pangkal segala hal

 Namun dalam termonologi, kata ashl juga mempunyai beberapa arti, yaitu: [1]

a. Dalil; yakni landasan hukum.

       Contoh :  واﻷﺻﻞ ﻓﻰ وﺟﻮب اﻟﺼﻼة  ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ أقيموا ألصلاة...

Artinya: Dalil wajibnya shalat adalah firman Allah SWT “dirikanlah Shalat”.  Maksudnya, yang menjadi dalilnya shalat adalah ayat Al-Qur’an dan Sunnah.

Dalam kalimat di atas, kata al-ashl, berarti dalil atau landasan hukum.

b. Qaidah Kulliyah, yaitu dasar atau fondasi utama sesuatu. 

Contohnya:

بني ألإسلام علي خمسة أصول

Artinya: Islam itu dibangun atas lima dasar utama.

c. Rajih, yaitu yang terkuat, seperti ungkapan para ahli ushul 

Contohnya:

  واﻷﺻﻞ ﻓﻰ اﻟﻜﻼم اﻟﺤﻘﻴﻘﺔ

Artinya: Yang terkuat dari kandungan suatu hukum adalah arti hakikatnya (bukan arti majazi)

4. Istishab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama belum ada dalil yang mengubahnya.

Contohnya:

اﻷﺻﻞ ﺑﻘﺎء ﻣﺎ كان ﻋﻠﻰ ﻣﺎ كان

Sedangkan Fikih secara etimologi ialah al-Fahmu,[2] artinya pemahaman yang mendalam. Seperti pada ayat dan hadits berikut ini:

 فلولا نفر من كل فرقة منهم طائفة ليتفقهوا في الدين

Artinya : 

Mengapa mereka tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama (al-Tawbah:122).

Hadist riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad ibn Hanbal, Turmudhi dan Ibnu Majah dari Muawiyah, Rasulullah SAW bersabda:

من يرد الله خيرا يفقهه في الدين

Artinya:

Jika Allah menginginkan suatu kebaikan bagi seseorang, maka Dia memberikan suatu pemahaman keagamaan kepadanya.[3]

Dalam ayat dan hadist di atas, kata-kata “fiqh” berarti memahami. Apa saja yang dipahami maka, digolongkan kepada “fiqh” secara bahasa.

Adapun definisi fiqh secara terminology sebagaimana yang diungkapkan para ahli fiqh terdahulu adalah:

 اﻟﻌﻠﻢ ﺑﺎﻷﺣﻜﺎم اﻟﺸﺮﻋﻴﺔ اﻟﻌﻤﻠﻴﺔ اﻟﻤﻜﺘﺴﺒﺔ ﻣﻦ أدﻟﺘﻬﺎ اﻟﺘﻔﺼﻴﻠﻴﺔ

Artinya: Ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah yang digali dari dalil-dalil yang terperinci (mendetail).[4]

 Atau dengan pengertian yang lain:

ﻣﺠﻤﻮﻋﺔ اﻷﺣﻜﺎم اﻟﺸﺮﻋﻴﺔ اﻟﻌﻤﻠﻴﺔ  اﻟﻤﻜﺘﺴﺒﺔ ﻣﻦ أدﻟﺘﻬﺎ اﻟﺘﻔﺼﻴﻠﻴﺔ[5]

Artinya: Himpunan hukum syara’ tentang perbuatan manusia (amaliyah) yang diambil  dan digali dari dalil-dalil yang terperinci. 

Dari dua definisi di atas menunjukkan bahwa definisi pertama dapat dipandang fiqh sebagai suatu ilmu yang di dalamnya menjelaskan masalah hukum, sedang definisi kedua dipandang fiqh sebagai suatu hukum, sebab di dalam keduanya terdapat kemiripan antara fiqh sebagai ilmu dengan fiqh sebagai hukum. Artinya ketika ia dipandang sebagai ilmu, maka penyajiannya diungkapkan secara deskriptif deduktif, dikarenakan analisis datanya tidak keluar dari lingkup sample dan sifatnya deduktif sebab berdasarkan teori atau konsep yang bersifat umum yang diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data atau menunjukkan kompirasi atau hubungan seperangkat data dengan dat yang lain.[6]

Sedangkan ketika ia dipandang sebagai suatu hukum, maka penyajiannya  diungkapkan secara analisis induktif. Dikarenakan analisis datanya mengarah kepada populasi dan sifatnya inferensial yang berdasarkan pada data dari sample yang sudah digeneralisasikan menuju kepada data populasi.[7]

 Jadi, fiqh adalah hasil ijtihad (pemikiran) para ulama terhadap dalil-dalil atau syari’ah. Berkaitan dengan hal ini, perlu dicermati pendapat Imam Harmain dan Al-Amidy yang menegaskan bahwa fiqh adalah

العلم بالأحكام الشرعية التي طريقها الإجتهاد

Artinya: Pengetahuan hukum syara’ melalui penalaran/pemikiran (nazhar, istidlal).[8]

Pengetahuan hukum yang diperoleh tanpa melalui ijtihad, tetapi langsung dari nash yang jelas, dimana  pengetahuan itu bersifat dharury, (ma’lum min al-dini bi al-dharurah), seperti shalat lima waktu, wajibnya puasa, haramnya riba, haramnya bisnis bathil, judi, dsb, maka bukan dianggap sebagai fikih. Setiap masalah yang qathiy bukan bahasan fikih.

Dengan menganalisis kedua definisi yang disebutkan diatas dapat ditemukan hakikat dari fiqh, yaitu :

a. Fiqh itu adalah ilmu tentang hukum Allah;

b. Yang dibicarakan adalah hal-hal yang bersifat amaliah furu’iyah;

c. Pengetahuan tentang hukum Allah itu didasarkan kepada dalil tafsili; dan

d. Fiqh itu digali ditemukan melalui penalaraan dan istidlal seorang mujtahid.

Dengan demikian, secara ringkas dapat dikatakan “fiqh itu adalah dugaan yang kuat yang dicapai oleh seorang mujtahid dalam usahanya menemukan hukum Allah”.

Kata fiqh selanjutnya sering dirangkai dengan kata Islami (Al-fiqh al-Islamy) dan Al-Fiqh al-Islamy sering diartikan sebagai hukum Islam (Islamic Law). Belakangan, fiqh Islam disebut juga dengan syari’ah, seperti fakultas syari’ah di berbagai perguruan tinggi.

Apabila dirangkai kedua kata di atas, yakni “ushul” dan “fiqh”, maka definisinya adalah sebagai berikut:

العلم بالأدلة الشرعية الإجمالية وطرق الاستفادة منها وحال المستفيد

Artinya: Suatu ilmu yang mempelajari tentang dalil-dalil syara’ yang bersifat umum, dan cara menyelesaikannya jika terjadi pertentangan serta kriteria para ahli ijtihad.[9]

Abdul Wahab Khallaf mendefinisikannya dengan:

العلم بالقواعد و البحوث التي يتوصل بها إلي استفاد الأحكام الشرعية العملية ﻣﻦ أدﻟﺘﻬﺎ اﻟﺘﻔﺼﻴﻠﻴﺔ  

Artinya: Ilmu pengetahuan yang mengajarkan kaidah/kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan hukum syari’ah mengenai perbuatan manusia dari dalil-dalilnya secara rinci.[10]

Khudari Bek memberikan definisi ushul fiqh dengan:

القواعد التي يتوصل يها إلي إستنباط الأحكام الشرعية من الأدلة

Artinya: Sejumlah akidah/teori yang dapat dijadikan sebagai cara atau metode untuk menetapkan fikih.[11]

Dari beberapa definisi di atas, dapat dianalisa bahwa ushul fikih dalam pengertian istilah adalah seperangkat kaidah guna mendukung cara dan upaya yang ditempuh dalam proses penetapan hukum dari sumber yag terperinci. Oleh karena demikian, ushul fikih pada hakikatnya adalah metodologi hukum Islam, yaitu suatu metode yang di dalamnya memuat prosedur dan teknik tentang:

a.       Bagaimana hukum syariah dapat dirumuskan untuk pedoman bertingkah laku?

b.      Bagaimana jalan pikiran menuju proses pembentukan hukum Islam?.

 

2. Objek Kajian Ushul Fikih

Objek kajian ilmu ushul fikih adalah objek-objek yang menjadi kekhususan dari ilmu ushul fikih secara dzati (al-‘awaridh adz-dzatiyyah). Dalam arti jika tujuan utama diciptakannya ushul fikih adalah melahirkan hukum-hukum fikih yang praktis, maka dasar dan sumber dari hukum fikih itulah yang menjadi kajian pokok dari ilmu ushul fikih. Seperti tubuh manusia yang menjadi objek pokok ilmu kedokteran, kalimat-kalimat bahasa Arab yang menjadi objek pokok ilmu Nahwu, harta warisan yang menjadi objek pokok ilmu Faraidh.

Manyoritas Ulama ushul fikih mengungkapkan bahwa yang menjadi objek pokok ilmu ushul fikih hanyalah dalil-dalil yang dikaji secara global atau Ijmali (al-Adillah al-Kulliyyah). Yaitu dalil-dalil yang menjadi dasar atas hukum-hukum fikih. Oleh karena demikian, selain pembahasan dalil, maka masalah-masalah yang ada dalam ilmu ushul fikih hanyalah objek-objek yang bersifat ikutan (tab’iyyah) atau semacam buah dari objek pokok.

Muhammad Mustafa az-Zuhayli menyatakan bahwa yang menjadi obyek kajian ushul fikih adalah sebagai berikut :

a.       Mengkaji sumber hukum Islam atau dalil-dalil yang digunakan dalam menggali hukum syara’, baik yang disepakati (seperti kehujahan Al-Qur'an dan sunah Nabi SAW), maupun yang diperselisihkan (seperti kehujjahan istihsan dan al-maslahah al-mursalah.[12]

b.      Mencarikan jalan keluar dari dalil-dalil yang secara lahir dianggap kontradiktif (bertentangan)/kaifiyat istidlal, baik melalui al-jam' wa at-taufiq (pengompromian dalil), tarjih baina al-adillah, nasakh, atau tasaqut ad-dalilain (pengguguran kedua dalil yang bertentangan). Misalnya, pertentangan ayat dengan ayat, ayat dengan hadis, atau hadis dengan pendapat akal.[13]

c.       Pembahasan ijtihad, syarat-syarat, dan sifat-sifat orang yang melakukannya (mujtahid), baik yang menyangkut syarat-syarat umum maupun syarat-syarat khusus keilmuan yang harus dimiliki mujtahid.[14]

d.      Pembahasan tentang hukum syar'i (nas dan ijmak), yang meliputi syarat dan macam-macamnya, baik yang bersifat tuntutan untuk berbuat, meninggalkan suatu perbuatan, memilih untuk melakukan suatu perbuatan atau tidak, maupun yang berkaitan dengan sebab, syarat, mani', sah, fasid, serta azimah dan rukhsah. Dalam pembahasan hukum ini juga dibahas tentang pembuat hukum (al-mahkum alaih), ketetapan hukum dan syarat-syaratnya, serta perbuatan-perbuatan yang dikenai hukum.

e.       Pembahasan tentang kaidah-kaidah yang digunakan dan cara menggunakannya dalam meng-istinbat-kan hukum dari dalil-dalilnya, baik melalui kaidah bahasa maupun melalui pemahaman terhadap tujuan yang akan dicapai oleh suatu nas (ayat atau hadis).

Dengan demikian terlihat jelas perbedaan antara obyek ushul fikih dan obyek kajian fikih itu sendiri. Obyek kajian ushul fikih adalah dalil-dalil, sedangkan obyek kajian fikih adalah perbuatan seseorang yang telah mukallaf (telah dewasa dalam menjalankan hukum). Jika usuli (ahli ushul fikih) membahas dalil-dalil dan kaidah-kaidah yang bersifat umum, maka fukaha (ahli fikih) mengkaji bagaimana dalil-dalil juz'I (sebagian ) dapat diterapkan pada peristiwa-peristiwa yang partial (khusus).

Juga objek fikih adalah hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia beserta dalil-dalilnya yang terperinci. Adapun objek ushul fikih mengenai metodologi penetapan hukum-hukum tersebut. Kedua ilmu tersebut (fiqh dan ushul fikih) sama-sama membahas dalil-dalil syara’, tetapi tujuannya berbeda. Fiqh membahas dalil-dalil tersebut untuk menetapkan hukum-hukum cabang yang berhubungan dengan perbuatan manusia, sedangkan ushul fikih meninjau dari dari segi metode penetapan hukum, klasifikasi argumentasi, serta situasi dan kondisi yang melatarbelekangi dalil-dalil tersebut.

           

3. Manfaat Mempelajari Ushul Fikih

Dalam masyarakat muslim dimana berkembang budaya taqlid kepada salah seorang imam pendiri mazhab, studi ushul fikih kurang pendapat perhatian. Sebab, dalam mengamalkan hukum Islam, bisa jadi mereka merasa cukup dengan apa yang telah tersedia dalam buku-buku fikih klasik. Studi ushul fikih baru terasa penting bila mana dihadapan kepada masalah-masalah baru yang hukumnya tidak terdapat dalam pembendaharaan fikih lama. Disamping itu, dengan maraknya para peminat hukum Islam melakukan perbandingan mengetahui mana pendapat yang lebih kuat, serta adanya upaya untuk memperbarui hukum Islam, akan semakin terasa betapa pentingnya studi ushul fikih. Gagasan pembaruan hukum Islam tanpa mengetahui dan mendalami metodologi pembentukan hukum Islam, maka pemburuan itu sendiri akan menjadi bumerang bagi umat Islam karena akan menimbulkan kerancuan berfikir dalam hukum Islam.

Dibawah ini akan dikemukakan beberapa kegunaan penting bagi studi ushul fikih:

1.       Dengan mempelajari ushul fikih akan memungkinkan untuk mengetahui dasar-dasar para mujtahid masa silam dalam membentuk fikihnya. Dengan demikian, akan dimengerti betul secara mendalam, sehingga dengan itu bisa diketahui sejauh mana kebenaran pendapat-pendapat fikih yang  berkembang didunia Islam. Pengetahuan seperti ini akan mengantarkan kepada ketenangan mengamalkan pendapat-pendapat mereka.[15]

2.       Dengan studi ushul fikih seseorang akan mampu untuk memperoleh kemampuan untuk memahami ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an dan hadist-hadist dalam Sunnah Rasulullah, kemudian mengistinbatkan hukum dari dua sumber tersebut. Dalam ushul fikih, seseorang akan memperoleh pengetahuan bagaimana seharusnya memahami sebuah ayat atau hadist, dan bagaimana cara mengembangkannya,. Oleh sebab itu, ulama-ulama mujtahid terdahulu, lebih mengutamakan studi ushul fikih dari studi fikih itu sendiri. Sebab dengan mempelajari ushul fikih seseorang bukan saja mampu memakai tetapi berarti mampu memproduk fikih.[16]

3.       Dengan mendalami ushul fikih seseorang akan mampu secara benar dan lebih baik melakukan mukaranat al-mazahib al-fikiyah, studi komparatif antar pendapat ulama fiqh dari berbagai mazhab, sebab ushul fikih merupakan alat untuk melakukan perbandingan mazhab fikih.[17]

Kegunaan ushul fikih terutama baru akan terasa bilamana keyakinan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup dapat disingkirkan dari pikiran seorang pegiat ushul fikih. Jika benar pintu ijtihad pernah ditutup dalam sejarahnya, hal itu tidak lain dimaksudkan agar ijtihad tidak dimanipulasi oleh orang-orang yang tidak berkompeten untuk melakukannya. Bagi orang-orang yang mampu, pintu ijtihad tidak seorang pun berhak menutupnya. Dalam konteks inilah studi ushul fikih menjadi lebih penting. Ia penting dialami, baik oleh seseorang yang akan memberikan fatwa, oleh para hakim dipengadilan di mana hukum Islam diterapkan, dan oleh para mahasiswa yang akan menekuni studi hukum Islam.

 

4. Keunggulan dan Keutamaannya

Orang yang ingin tafaqquh (mengetahui, mendalami, menguasai) ilmu fikih akan mencapainya dengan mengetahui kaidah-kaidah fikih, oleh karena itu ulama berkata:

من راعى الأصول كان حقيقا بالوصول ومن راعى القواعد كان خليْقا بإِدْراك المقاصد

“Barang siapa menguasai ushul fikih, tentu dia akan sampai kapada maksudnya, barang siapa menguasai kaidah-kaidah fikih pasti dialah yang pantas mencapai maksudnya”[18]

 

 

5. Hubungannya dengan Ilmu lain

Hubungan ilmu ushul dengan fiqh adalah seperti hubungan ilmu mantiq (logika) dengan filsafat, bahwa mantiq merupakan kaedah berfikir yang memelihara akal agar tidak ada kerancuan dalam berfikir.[19] Juga seperti hubungan antara ilmu nahwu dalam bahasa Arab, di mana ilmu nahwu merupakan gramatikal yang menghindarkan kesalahan seseorang dan mengucapkan bahasa Arab, demikian juga ushul fiqh adalah kaidah yang memelihara fuqaha’ agar tidak terjadi kesalahan di dalam menggali hukum.[20]

 

6. Penemu ilmu Ushul fikih

Kebanyakan peneliti dan ahli Ilmu ushul fikih mengatakan bahwa pendiri Ilmu ushul fikih adalah al-Shafi‘i dan buku al-Risalah karyanya adalah buku pertama dalam bidang Ilmu ushul fikih. Al-Razi mengatakan, “Al-Shafi‘i telah menggali Ilmu usul fikih, menetapkan aturan umum bagi manusia yang jadi rujukan dalam usaha mengetahui tingkatan dalil-dalil syariat. Nisbah al-Shafi‘i dengan Ilmu ushul fikih sama dengan nisbah Aristoteles dengan Ilmu Rasional (logika).”[21] Ibnu Hambal dan al-Juwayni menyatakan bahwa tidak ada seorang pun sebelum al-Shafi‘i yang mengenal dan menulis tentang Usul Fiqh. Ibnu Rusyd di dalam Fasl al-Maqal pun mengatakan bahwa kajian tentang analogi fiqh dilakukan setelah abad pertama.

Alasan yang melatarbelakangi Imam Syafi’i sebagai penemu ushul fikih adalah. Pertama, kitab tertua dalam bidang Usul Fikih yang kita ketahui adalah karya al-Shafi‘i. Dia tidak hanya menulis al-Risalah, tapi juga Ahkam al-Qur’an, Ikhtilaf al-Hadith, Ibtal al-Istihsan, Jima‘ al-‘Ilm, dan al-Qiyas.” Kedua, bahasan al-Syafi‘i sangat holistik sehingga membuat pencarian metode pra al-Syafi‘i seolah-olah tidak diperlukan. Bab-bab dan tema-tema yang dipaparkan al-Syafi‘i adalah yang paling mendetail dan paling berharga di antara semua yang telah ditulis para ulama. Bahkan, menurut Ahmad Shakit, editor buku al-Risalah, semua tulisan setelah al-Syafi‘i adalah cabang darinya dan berhutang kepadanya, sedangkan dia telah menghimpun serta menulis ilmu tersebut tanpa contoh terdahulu. Ketiga, pemikiran al-Syafi‘i dikembangkan dan disebarluaskan secara intensif oleh murid-muridnya.[22]

Abu Zahrah mengatakan bahwa al-Syafi‘i pantas untuk menjadi orang pertama yang mengkodifikasi Ilmu Usul Fikih. Sebab, al-Syafi‘i mahir dalam Ilmu Bahasa Arab, Ilmu Hadith, menguasai berbagai jenis fiqih pada zamannya, mengetahui perbedaan para ulama dari masa sahabat hingga masanya, sangat terobsesi untuk mengetahui sebab-sebab perbedaan pendapat dan ragam orientasi orang-orang yang berbeda pendapat.[23]

 

7. Nama Ilmu

            Nama yang diistilahkan untuk ilmu ini adalah ushul fikih.

8. Sandaran Ilmu (Istimdaad)

Tidak ada sesuatu macam ilmu yang dapat berdiri sendiri, tetapi selalu bersangkut-paut dengan ilmu-ilmu yang lain. Demikian pula halnya dengan Ushul Fiqh, adalah kaidah-kaidah (peraturan-peraturan) yang dipinjam dari ilmu-ilmu lain yang dijadikan suatu macam ilmu yang tersendiri. Adapun ilmu-ilmu yang sangat berhubungan dengan Ushul Fiqh ialah:

1.       Ilmu Tauhid

Ilmu ini penting, karena kita mengetahui adanya syari’at Islam, sesudah kita mengetahui adanya Tuhan yang menurunkan syari’at itu, dan adanya Rasul-Rasul (utusan-utusan) Tuhan yang membawa syari’at tersebut.Tntang kebenaran syari’at itu dari Allah dan tentang kebenaran Rasul-Rasul pembawa syari’at itu demikian pula tentang hujah (boleh menjadi pegangan) syari’at tersebut dibicarakan dalam Ilmu tauhid.

2.       Bahasa arab

Kita mengetahui, bahwa Al-Quran itu berbahasa Arab. Demikian hadist kalau tidak bisa menguasai bahasa Arab. Karena itu kedudukan bahasa Arab dalam mempelejari Ushul Fikih sangat penting.

 

9. Hukum Mempelajari Ushul Fikih

Seperti hukum dari ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi masyarakat, mempelajari ushul fikih adalah fardhu kifayah. Meskipun sebagian ulama mewajibkan mempelajari dan menguasai usul fikih bagi para mujtahid untuk mengeluarkan hukum yang tersirat dalam alqur’an dan hadits.

 

10. Masalah yang dikaji

            Terdapat perbedaan pendapat dalam permasalahan masalah apa yang dikaji dalam ilmu ushul fikih. Menurut Abdul Aziz ar-Rabi’ah, perbedaan yang paling mencolok hanyalah terkait taqdim wa ta’khir atau peletakan masalah dalam urutan bab yang berbeda. Ada yang memulai dengan bab dalil lalu hukum kully, adapula yang sebaliknya, dan seterusnya.[24] Namun menurut al-Ghazali bahwa kajian Ushul Fiqih tidaklah keluar dari empat masalah pokok yang beliau sebut dengan istilah al-Aqthab al-Arba’ah.[25] Keempat masalah tersebut sekaligus rinciannya sebagaimana berikut:

a.       Dalil-dalil Kully

Al-Ghazali menyebutnya dengan istilah al-mustatsmir (pohon yang produktif menghasilkan buah). Dalil kully adalah pembahasan tentang dalil-dalil yang menjadi dasar atas hukum-hukum fikih. Namun dalam hal ini harus dibedakan antara dalil kully dan dalil juz’i atau tafshily. Di mana pembahasan tentang dalil kully merupakan objek kajian ushuliyyun sedangkan pembahasan tentang dalil juz’i atau tafshily adalah objek kajian fuqaha’. Sebagai contoh, di antara dalil kully adalah al-Qur’an. Maka Ushuliyyun hanya bertugas membahas hal-hal yang terkait dengan al-Kitab (al-Qur’an) sebagai dalil seperti definisinya, landasan legalitasnya, klasifikasinya antara qira’at mutawatirah, qira’at ahad, dan qira’at syad dan lain-lain.[26] Sedangkan fuqaha’ dalam karya-karya mereka tidaklah membahas hal-hal di atas, namun mereka membahas ayat-ayat al-Qur’an secara tafshili atau rinci yang berkaitan dengan aktifitas manusia. Seperti ayat-ayat al-Qur’an tentang shalat, zakat, muamalat, dan lainnya yang dikaitkan dengan aktifitas manusia seputar ayat tersebut.

Adapun pembahasan tentang dalil kully yang dikaji dalam ilmu Ushul Fikih meliputi hal-hal berikut:

Pertama, Klasifikasi Dalil yang mencakup dalil yang disepakati legalitasnya dan dalil yang diperselisihkan legalitasnya. Adapun dalil yang disepakati dapat menjadi dasar hukum syariat mencakup empat dalil, yaitu: al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.

Sedangkan dalil yang diperselisihkan cukuplah banyak, namun yang umumnya dikaji mencakup tujuh dalil, yaitu: mazhab shahabat, syar’u man qablana, istihsan, istishlah, sadd dzari’ah, ‘urf, amalan ahli Madinah dan istishhab.

Kedua, pembahasan rinci atas setiap dalil di atas.

Ketiga, titik kesepakatan serta polemik yang terjadi antara ushuliyyun dalam rincian setiap dalil. Seperti polemik yang terjadi antara mereka dalam hal legitimasi (hujjiyyah) qira’at mutawatirah, af’al atau perbuatan Nabi Saw, rincian qiyas atas dasar polemik tentang ‘illah, ijma’-ijma’ khusus seperti ijma’ ahli Madinah, dan aplikasi dari setiap dalil, khususnya terkait dalil yang diperselisihkan legitimasinya. Sebab sekalipun ada beberapa ushuliyyun yang secara mendasar menolak legitimasi dalil tertentu, namun dalam aplikasinya pada ranah fiqih, dalil-dalil tersebut tetap dipakai sebagai alternatif. Seperti konsep istihsan atau istishlah yang ditolak oleh mazhab asy-Syafi’iyyah, namun dalam prakteknya mereka juga menggunakannya sebagai alternatif pilihan.

2. Hukum Kully

Yang dimaksud dengan hukum kully adalah teori-teori tentang hukum syariat dan bukan rincian hukum tersebut yang dikaitkan dengan perbuatan manusia. Hal ini juga yang menjadi titik perbedaan paling mencolok antara objek kajian ushul fiqih dan ilmu fiqih. Imam al-Ghazali menyebut objek ini dengan istilah tsamrah. Jika ilmu Fiqih berfungsi sebagai ilmu yang mengkaitkan setiap perbuatan manusia apakah yang berdimensi vertikal (ibadah) ataupun horizontal (mua’malah) pada setiap hukum syara’ seperti wajib, haram, mandub, makruh, dan mubah, maka ilmu Ushul Fiqih berfungsi untuk mengkaji hukum-hukum tersebut secara konseptual dan teoritis. Terkait definisinya, klasifikasinya, hal-hal yang terkait dengan hukum, dan lain sebagainya.

Untuk lebih rinci, Abdul Wahhab Khallaf membagi pembahasan hukum kully menjadi empat objek:[27]

Pertama: Hakim. Yaitu pembahasan tentang yang berhak membuat hukum atas perbuatan manusia.

Kedua: Hukum. Yaitu sifat-sifat hukum syara’ serta klasifikasinya; hukum taklifi dan hukum wadh’i. Di mana hukum taklifi ada yang membagi menjadi lima sebagaimana pendapat jumhur ulama atau ada yang membagi menjadi tujuh sebagaimana pendapat al-Hanafiyyah. Demikian pula definisi serta klasifikasi dari setiap hukum syara’, seperti hukum wajib yang dibagi menjadi beberapa macam: ‘aini-kifa’i, mudhayyaq-muwassa’, muhaddad-ghairu muhaddad, mu’ayyan-mukhayyar; mandub yang dibagi menjadi tiga: sunnah mu’akkad, mustahab, dan fadhilah. Dan lain sebagainya.

Ketiga: Mahkum Fihi. Yaitu pembahasan tentang sifat dan teori taklif atau aturan syariat yang dibebankan atas manusia.

Keempat: Mahkum ‘Alaihi. Yaitu pembahasan tentang sifat dan teori mukallaf atau manusia yang dibebankan aturan syariat meliputi syarat-syarat mukallaf dan hal-hal yang menjadi penghalang sang mukallaf melaksanakan aturan syariat (‘awaridh ahliyyah).

 

3. Istidlal

Istidlal atau yang disebut oleh al-Ghazali dengan istilah thuruq al-istitsmar adalah teori dan kumpulan kaidah dalam menyimpulkan (istinbath) hukum dari dalil-dalil syariat. Artinya istidlal adalah cara, metode, dan juga proses yang dilakukan seorang ulama mujtahid dalam penyimpulan hukum syara’ untuk perbuatan manusia berdasarkan dalil-dalil syariat.

Hal yang membedakan antara ilmu Ushul fiqih dan ilmu Fiqih dalam objek ini adalah bahwa Ushuliyyun bertugas untuk menetapkan legalitas atas kaidah-kaidah istinbath hukum dengan argumentasi naqli ataupun ‘aqli. Sedangkan Fuqaha’ bertugas memfungsikan dan menggunakan kaidah-kaidah tersebut secara implementatif atas setiap perbuatan manusia berdasarkan dalil-dalil syariat.

Sebagai contoh, Allah swt berfirman dalam al-Qur’an

أقيموا الصلاة

 “Dirikanlah shalat

 Dalam menyikapi ayat ini, maka Ushuliyyun dengan pendekatan bayani menetapkan kaidah

ألأمر يدل على الوجوب

 “setiap perintah yang bersifat mutlak maka konsekwensi hukumnya adalah wajib.

 Sedangkan fuqaha’ dengan menggunakan kaidah yang telah dibakukan oleh ushuliyyun, menetapkan dan menyimpulkan sebuah hukum atas perbuatan manusia bahwa shalat hukumnya adalah wajib dilakukan oleh mukallaf.

4. Mustadil.

Mustadil secara mudah diartikan sebagai seseorang yang mencari dalil atau menggunakan dalil. Pembahasan tentang mustadil pada dasarnya mencakup dua hal yaitu teori tantang ijtihad dan mujtahid serta teori tentang taqlid dan muqallid. Imam al-Ghazali menyebut objek ini dengan istilah al-mustatsmir.

Untuk pembahasan ini, pada dasarnya hanya kalangan ushuliyyun saja umumnya yang melakukannya. Hanya saja secara implisit dalam buku-buku fiqih para fuqaha’ juga membahasnya dalam bab-bab qadha’. Ataupun adapula yang membahasnya pada muqaddimah buku-buku fiqih. Bahkan kajian tentang mustadil juga biasa ditulis dalam satu buku khusus dengan beragam judul seperti adab al-musfti wa al-mustafthi karya Ibnu ash-Shalah, Adab al-Fatwa wa al-Mufti wa al-Mustafti karya an-Nawawi, ‘Uqud Rasm al-Mufti karya Ibnu ‘Abdin, dan lainnya.

 

B. DAFTAR PUSTAKA

 

Abdul Aziz ar-Rabi’ah, Ilmu Ushul al-Fiqh: Haqiqatuhu, Makanatuhu, Tarikhuhu, Maddatuhu, (Riyadh: Maktabah al-Malik Fahd, 1416/1996)

 

Hasbi Ash-Shiddiqie, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993)

 

Khudari Bek, Ushul al-Fiqh, (Mesir: Maktabah wa Mathba’ah Tijariyah al-Kubra, 1969)

 

Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (t.t: Dark al-Fikr, 1958)

 

Abdul Wahab Khallaf, Ilm al-Ushul al-Fiqh,  (Kairo: Maktabah al-Kalam, 1978)

 

Abdullah bin Sa’īd Muhammad ‘Ibadi al-Hadrami, Iāh al-Qawa̅`id Fiqhiyyah.

 

A. Dzajuli,  Kaidah-kaidah Fiqh:Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006)

 

Ahmad Dhamanhuri, Idhahul Mubham Li Ma’ani Shullam, (Semarang:Toha Putra, t.t)

 

Al-Mun‘im Ibrahim, “Pengantar”, Sharh al-Waraqat fi ‘Ilm Usul al-Fiqh, Jalal al-Din Muhammad bin Ahmad al-Mahalli al-Shafi‘i, ed. Al-Mun‘im Ibrahim, (Riyad: Maktabah Nizar Mustafa al-Baz, 1996)

 

Bambang  Sunggono,  Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)

 

Imam Haramain, al-Waraqat, (Semarang: Toha Putra, tt)

 

Jalal al-Din, al-Jami’ al-Shaghir fi Ahadits al-Basyir al-Nadhir, (Indonesia: Syirkah al-Maa’rif, tth)

 

Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Maktabah Dar al-Fikr, 1988)

 

Muhammad Ali Shabban Malawi, asyiyah Syarh as-Sullam Lil Malawi, (Surabaya: Al-Haramain, tt)

 

Wahbah Zuhayli, Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz. 1, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989)

 

Zakaria al-Anshari, Syarah Ghayah Wusul, (Indonesia: Maktabah Dar Ihya Kutb al-Arabiyah).

  1.  

 



[1]Wahbah Zuhayli, Ushul al-Fiqh al-Islami, Juz. 1, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 18

[2]Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Maktabah Dar al-Fikr, 1988), h. 591

[3]Jalal al-Din, al-Jami’ al-Shaghir fi Ahadits al-Basyir al-Nadhir, (Indonesia: Syirkah al-Maa’rif, tth), h. 183

[4]Abdul Wahab Khallaf, Ilm al-Ushul al-Fiqh,  (Kairo: Maktabah al-Kalam, 1978), h. 11

[5]Abdul Wahab Khallaf, Ilm al-Ushul..., h. 11

[6]Bambang  Sunggono,  Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 38

[7]Bambang  Sunggono,  Metodologi Penelitian...., h. 39

[8]Imam Haramain, al-Waraqat, (Semarang: Toha Putra, tt), h. 3

[9]Imam Haramain, al-Waraqat..., h.3

[10] Abdul Wahab Khallaf, Ilm al-Ushul..., h. 12

[11]Khudari Bek, Ushul al-Fiqh, (Mesir: Maktabah wa Mathba’ah Tijariyah al-Kubra, 1969), h. 17

[12]Al-Zuhayli, Ushul..., h. 27

[13]Imam Haramain, al-Waraqat..., h. 8

[14]Al-Zuhayli, Ushul..., h. 27

[15]Al-Zuhayli, Ushul..., h. 29

[16]Al-Zuhayli, Ushul..., h. 30

[17] Al-Zuhayli, Ushul..., h. 30

[18] Hasbi Ash-Shiddiqie, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993). Cet. III, hlm. 235.

[19]Ahmad Dhamanhuri, Idhahul Mubham Li Ma’ani Shullam, (Semarang:Toha Putra, t.t), h.3

[21]Al-Mun‘im Ibrahim, “Pengantar”, Sharh al-Waraqat fi ‘Ilm Usul al-Fiqh, Jalal al-Din Muhammad bin Ahmad al-Mahalli al-Shafi‘i, ed. Al-Mun‘im Ibrahim, (Riyad: Maktabah Nizar Mustafa al-Baz, 1996), cet. I, h. 13.

[22]Al-Mun‘im Ibrahim, “Pengantar”, Sharh al-Waraqat..., h. 13

[23] Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, tt., h. 11.

[24] Abdul Aziz ar-Rabi’ah, Ilmu Ushul al-Fiqh: Haqiqatuhu, Makanatuhu, Tarikhuhu, Maddatuhu, (Riyadh: Maktabah al-Malik Fahd, 1416/1996), cet. 1, h. 233

[25] Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh..., h. 26

[26] Seperti isi dari kitab Syarah Ghayah Wusul karya Zakaria Al-Anshari. (Indonesia: Maktabah Dar Ihya Kutb al-Arabiyah).

[27] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul..., h.96


[1]Muhammad Ali Shabban Malawi, Ḥasyiyah Syarh as-Sullam Lil Malawi, (Surabaya: Al-Haramain, tt), h. 35

[2]Abdullah bin Sa’īd Muhammad ‘Ibadi al-Hadrami, Iḍāh al-Qawa̅`id…, h. 7. A. Dzajuli,  Kaidah-kaidah Fiqh:Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), h. 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AL-MA'ARIF