MA’HAD ‘ALY:ANTARA PELUANG & TANTANGAN
Ontologi Ma’had ‘Aly
Keberadaan pondok pesantren/ dayah (dalam bahasa Aceh) memiliki tiga fungsi utama, yaitu, Pertama, sebagai lembaga tafaqquh fiddin (pengembangan keagamaan). Hal ini menjadikan pesantren sebagai penopang, pengembang dan pemelihara dan pengawal nilai-nilai dasar keagamaan serta penyeimbang antara tuntutan tradisi dan modernisasi: Kedua, sebagai lembaga pengembangan masyarakat (social transformatif), yaitu pondok pesantren dituntut berperan aktif dalam upaya pemberdayaan masyarakat dan mampu mendorong perubahan social ke arah yang lebih baik: Ketiga, sebagai lembaga Pendidikan & dakwah Islam yaitu pesantren harus mampu berperan sebagai pusat belajar (study center) dan misi penyebaran ajaran-ajaran agama Islam.
Dari ketiga tujuan utama diatas, maka merujuk kepada tujuan yang pertama, oleh Kementerian Agama telah membuat berbagai program pengembangan, pengembangan Madrasah Diniyah, pengembangan Ma’had ‘Ali, pengembangan wajib belajar Pendidikan dasar (WAJARDIKDAS) pada Pondok Pesantren, dan Program Paket A, B dan C.
Semenjak kemunculannya, banyak para pakar yang memberikan beragam devinisi dari kata-kata “ma’had ‘aly”. Namun menurut penulis, kesemuanya bermuara pada satu kesimpulan yang sama, yaitu sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 71 Tahun 2015, bahwa Ma’had Aly merupakan perguruan tinggi keagamaan Islam yang menyelenggarakan pendidikan akademik dalam bidang penguasaan ilmu agama Islam (tafaqquh fiddin) berbasis kitab kuning yang diselenggarakan oleh dan berada di pesantren. Berdasarkan aturan tersebut, entitas Ma’had Aly sebagai Pendidikan Diniyah Formal pada jenjang pendidikan tinggi sejatinya mengacu pada dua regulasi sebelumnya, yaitu Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), terutama di dalam Pasal 30 ayat (4) yang secara eksplisit menyebutkan, “Pendidikan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja, samanera, dan bentuk lain yang sejenis”.
Sebagai lembaga pendidikan tinggi, Ma’had Aly bersifat independen, dengan pengertian Ma’had Aly bebas menentukan arah kebijakan dan kurikulum sendiri. Fungsi Ma’had Aly adalah:
1. Tri Dharma perguruan tinggi yang meliputi pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
2. Menjadi agen modernisasi bangsa dan negara dalam wadah masyarakat madani.
Ma’had Aly menjadi salah satu bagian dari perguruan tinggi yang ada di Indonesia yang mendalami khusus dalam bidang keagamaan mempunyai tanggungjawab dalam memberikan wacana keilmuan keagamaan guna mewujudkan santri yang memiliki kualitas intelektual dan keilmuan yang tinggi. Ma’had ‘Aly sebagai lembaga yang baru mendapat legalitas dari pemerintah, tentu adanya tantangan dan peluang yang dihadapi oleh lembaga tersebut.
Sejarah Ma’had Aly
Berbicara tentang Ma’had Aly, maka kita tidak akan lepas dari membicarakan tentang pesantren. Karena akar dari Ma’had Aly sendiri tidak lepas dari pesantren itu sendiri. Sejarah pesantren telah dimulai sejak ratusan tahun yang lalu bahkan bisa dikatakan sejarah negeri ini adalah pesantren itu sendiri. Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan islam yang menjadi tugas, fungsi, dan wewenang Kementrian Agama disamping diniyah, madrasah dan perguruan tinggi Islam. Dibandingkan dengan satuan pendidikan lainya, pesantren memiliki keunikan sebagai lembaga pengembangan ilmu-ilmu keislaman. Sebutan Ma’had Aly selama ini diidentifikasi kepada pondok pesantren karena memang Ma’had Aly lahir karena pergumulan dan pencarian bentuk kajian keislaman yang ideal di pesantren.
Dalam kontek keAcehan, perguruan tinggi keagamaan (ma’had ‘Aly) sudah mulai dikembangkan semenjak tahun 1940-an oleh Abuya Muhammad Waly al-Khalidi dengan nama Bustanul Muhaqqiqin. Dalam catatn sejarah, Bustanul Muhaqqiqin adalah salah satu bagian dari tingkatan belajar paling tinggi di dayah Darussalam Labuhan Haji yang di asuh langsung oleh Abuya Muhammad Wali, dengan takhassus ushul fiqh & fiqh. Identifikasi ini dilihat dari kitab yag dominan diajarkan oleh Abuya, yakni kitab Tuhfatul Muhtaj dan kitab Jam’u Jawami’. Terdapat 6 tingkatan proses pembelajaran yang diterapkan oleh Abuya, yaitu:1) Tarbiyatul Sibyan, 2) Ibtidak Tarbiyah Islamiyah, 3) Tsanawiyah Tarbiyah Islamiyyah, 4) Tautiah Bustanul Muhaqqiqin, 5) Ibtidak Bustanul Muhaqqiqin, 6) Tsanawiyah Bustanul Muhaqqiqin wa Mudaqqiqin.
Adapun sistem pembelajaran yang diterapkan oleh Abuya terdiri dari 2 metode, yakni: Abuya membaca dan menjelaskan seperlunya, kemudian Abuya meminta kepada murid–muridnya untuk mempersoalkan (i`tiradh) atas masalah yang sedang dibicarakan. Metode kedua, Murid yang membacakan serta menjelaskan, kemudian diminta kepada murid–murid yang lain untuk mengi`tiradhkannya atas masalah yang sedang dibacakannya itu termasuk Abuya sendiri. Akhir i`tiradh semua masalah tersebut, Abuya sendiri yang mengatakan cukup.
Di lihat dari konteks ke-Indonesiaan, Ma’had ‘Ali diawali dari tahun 1980-an, di saat itu para kyai-kyai sesepuh NU yang alim telah banyak yang wafat, sementara generasi baru yang harus menggantikan posisi keagamaan dan kemasyarakatan mereka belum juga muncul. Pada saat yang sama masyarakat berkembang begitu cepat dan tantangan yang harus dihadapi oleh generasi baru ini juga semakin kompleks. Situasi demikian ini menimbulkan keprihatinan yang mendalam bagi kalangan ulama’ dan pesantren.
Dari suasana psikologis semacam ini al-marhum K.H. As’ad Syamsul Arifin pada tahun 1989 berfikir untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang disiapkan untuk melahirkan kader-kader lama yang memiliki wawasan luas, terutama ulama’ ahli fikih yang belakangan ini telah banyak wafat. Sebagai tindak lanjut dari gagasan tersebut, diadakanlah pertemuan awal dengan menyelenggarakan simposium nasional di pondok pesantren salafiyah Situbondo tentang rencana pendirian Ma’had Aly.
Diakhir pertemuan itu, peserta simposium sepakat untuk mendirikan lembaga keulamaan yang terintegrasi dengan pesantren dan merupakan lanjutan dari pengajaran di pesantren. Untuk kepentingan itulah, pada tahuan 1990 untuk pertama kali didirikan Ma’had Aly pesantren salafiayah syafi’iyah Sitobondo konsentrasi atau spesialis adalah pada bidang Fiqh dan usul fiqh. Sebenarnya, disamping Ma’had Aly Situbondo ada beberapa pesantren yang perlu membuka Ma’had Aly, seperti pesantren Tebuireng, pesantren Darul Ulum Petrongan Jombang, pesantren al-Munawir Krapyak Yogyakarta, pesantren Betet Cirebon, dan pesantren Cipasung Tasikmalaya. Namun dari sekian banyak pesantren yang berhasil membuka Ma’had Aly adalah pesantren al-Munawir Krapyak Yogyakarta pada tahun 1993 M yang diasuh oleh K.H. Najib Abdul Qodier dan K.H. Warson Munawir dengan takhasus fikih.
Akhirnya dengan perjuangan beliau memperjuangkan Ma’had Aly dengan mempertimbangakan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78 dikeluarkanlah UU dari Kemenag pasal I ayat I dan II yang berbunyi Ma’had Aly adalah perguruan tinggi keagamaan Islam yang menyelenggarakan pendidikan akademik dalam bidang penguasaan ilmu agama Islam (tafaqquh fiddin) berbasis kitab kuning yang diselenggarakan oleh pondok pesantren. Pondok pesantren yang selanjutnya disebut pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan Islam yang diselenggarakan oleh masyarakat yang menyelenggarakan satuan pendidikan pesantren dan/atau secara terpadu menyelenggarakan jenis pendidikan lainnya.
Ma’had ‘Aly: Antara Peluang & Tantangan
Penyelenggaraan pendidikan tinggi agama di Indonesia menjadi bertambah seiring dengan diresmikannya pendidikan tinggi keagamaan ma’had ‘Aly. Ia menjadi mitra sejajar bagi STAIN, IAIN, UIN bahkan perguruan tinggi keagamaan swasta lainnya. Banyak peluang yang dimiliki oleh lembaga Ma’had ‘Aly setelah diresmikan antara lain, pertama, menjadi peluang untuk masyarakat belajar secara khusus serta membuka ruang bagi pemerintah untuk bisa memberikan kesetaraan perhatian dan perlakuan kepada seluruh warga negara Indonesia tanpa ada perbedaan dan diskriminasi dalam bentuk apapun. Setelah adanya legalitas, pemerintah dapat memberikan afirmasi terkait penyelenggaraan Ma’had Aly, baik dengan cara menyiapkan regulasi yang dibutuhkan maupun dengan memberikan dukungan finansial yang proporsional.
Kedua, Ma’had Aly berpeluang mengisi kekurangan UIN, IAIN, STAIN dalam hal penguasaan kitab kuning (al-Turats) baik hasil karya para ulama mutaqadimin, maupun buah karya ulama mutaakhirin. Pada saat yang bersamaan, Ma’had Aly juga menguasai metodologi pendidikan modern yang hal ini tidak dikuasai oleh pesantren tradisional. Sehingga nantinya Ma’had Aly bisa mengintegrasikan sebagai cendikiawan yang berakhlakul karimah, tawadlu, shalih sebagaimana khas ulama dayah, juga Ma’had Aly bisa mempromosikan sebagai cendikiawan yang menguasai sains dan metodologi modern khas perguruan tinggi di dunia.
Ketiga, eksistensi Ma’had ‘Aly dapat menjadi ukuran sejauh mana pengaruh sosial bisa diwujudkan komunitas Ma’had Aly setelah mendapatkan pengakuan (legalitas) dari pemerintah. Fungsi penyelenggaraan Ma’had Aly harus diperluas lagi meliputi upaya untuk menciptakan agen perubahan sosial (the agent of social change) sebagai implementasi konsep Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Tantangan Ma’had ‘Aly ke depan di era yang serba modern dan ber teknologi ialah harus bisa menjaga integritas dan moralitas, karena ma’had ‘aly adalah satu-satunya lembaga yang mendapat kepercayaan masyarakat untuk mendidik anaknya menjadi alim ulama. Pada zaman sekarang moralitas menjadi sesuatu perkara yang langka bagi para peserta didik, lebih-lebih lagi bagi mereka yang tidak memiliki dasar agama. Oleh karenanya para maha santri ma’had ‘Aly juga harus dapat mengiplementasikan kompetensi baik secara substantif maupun secara metodologis, profesionalisme dan memiliki karakter yang kuat serta handal. Fakta di lapangan menunjukkan makin terkikisnya moralitas sebagai ekses terjadinya pergeseran nilai di tengah masyarakat harus menjadi perhatian utama para penyelenggara Ma’had Aly.
Penguasaan metodologis bagi para maha santri Ma’had ‘Aly menjadi tantangan tersendiri yang harus dituntaskan. Dikarenakan selama ini aspek metodologis itulah yang menjadi titik kenggulan pendidikan non pesantren. Meskipun secara materi, mereka miskin dalam bidang pengetahuan agama dibanding dengan orang-orang pesantren, tetapi secara metodologis unggul, maka mereka lebih mampu mengorganisir dan mengeluarkan pikiran-pikiran secara sistematis. Ada kata kunci dari Prof.Mahmud Yunus dalam bukunya Al-Tarbiyah Wa`l-Ta`lim, bahwa metodologi itu lebih penting daripada materi (Al-Thariqah ahammu kin al-maadah). Jadi mereka yang disekolah itu meskipun hanya mempunyai sedikit materi, tetapi dipahami dengan baik, diorganisir secara sistematis dan diekspresikan dengan baik. Sebaliknya dipesantren, mereka punya banyak, tetapi karena tidak bisa berpikir rasional dan sistematis, maka “kekayaan” mereka itu tidak bisa dipahami dan diekspresikan dengan baik.
Tantangan selanjutnya adalah Ma’had Aly harus mampu mengimplementasikan amanat Peraturan Menteri Agama (PMA) dalam menyelenggarakan layanan pendidikan secara khusus, mandiri dan fokus menghasilkan lulusan yang mumpuni di bidang keilmuan Islam (ahli-ahli fiqh). Oleh karena demikian, bagaimanapun kondisi dan kondisi yang dihadapi oleh para penyelenggara Ma’had Aly, Ma’had ‘Aly harus konsisten memberikan layanan dan tidak selalu bergantung pada bantuan dan perhatian pemerintah. Artinya dengan adanya semangat kemandirian pesantren, juga harus mampu direfleksikan Ma’had Aly.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar